Sampai satu tahun lalu, Ramadan masih jadi momentum saat orang beramai-ramai ke mesjid untuk shalat tarawih. Sampai tahun lalu, Ramadan masih jadi momentum saat orang-orang bergerombol mudik, pulang ke kampung halaman melepas rindu dengan handai taulan. Tak lupa, Ramadan jadi momentum saat kolega dan kawan yang lama tak jumpa berkumpul dalam sebuah acara buka puasa bersama. Sudah lebih dari 300 hari berlalu, tapi kehangatan bulan Ramadan tak juga layu. Karena itulah Ramadan selalu dirindu. Kehangatannya, kedamaiannya, keutamaannya, dan kemenangan yang diraih setelahnya, tak bisa dihapus begitu saja dari kalbu.
Tak ada yang berencana Ramadan kali ini akan kelabu. Ramadan yang tanpa tarawih di mesjid, Ramadan yang tanpa itikaf di mesjid, Ramadan yang tanpa tadarus di mesjid, Ramadan yang tanpa hiruk pikuknya mudik, Ramadan yang tanpa buka puasa bersama dengan kolega atau kawan lama, sungguh terasa pilu.
Mungkinkah cara kita berperilaku di Ramadan sebelumnya salah ? Mungkin kita berangkat tarawih ke mesjid, tapi justru menjadikan shalat tarawih sebagai konten sosial media, sebagai ajang pamer mukena, atau sebagai tempat curhat dengan kawan lama ? Mungkin kita berangkat mengikuti tadarus, tapi justru menjadikan majelis itu sebagai ajang pamer gamis baru, atau sebagai tempat ghibah yang tak terasa ? Mungkin kita menyambung silaturrahim dengan kawan lama saat buka puasa bersama, tapi justru kita melalaikan panggilan-panggilan shalat ??
Beberapa tahun dari sekarang, masa-masa sulit ini mungkin sudah menjadi jejak sejarah. Karena tak ada janji yang lebih terjaga dan lebih benar daripada janji Allah. Maka saat Allah menjanjikan kemudahan setelah kesulitan, maka sungguh akan ada kemudahaan setelah saat-saat sulit ini.
Ada yang hilang, tapi Ramadan akan tetap jadi Ramadan. Tertutupnya pintu mesjid bukan untuk malas-malasan beribadah, tapi untuk lebih banyak beribadah di rumah, berjamaah dengan semua anggota keluarga. Insyaa Allah rumah pun lebih berkah. Larangan mudik bukan untuk memutus silaturrahim, kita hanya perlu mengganti caranya dengan yang lebih digital.
Banyak yang terpaksa berubah, tapi Ramadan tetaplah Ramadan. Bulan penuh ampunan, bulan penuh kasih sayang. Mengutip salah satu tulisan Ustadz Felix Siauw, bahwa di bulan ini tak ada lagi syaitan dan jin yang bisa disalahkan, karena mereka sudah dibelenggu. Tinggallah kita sendiri yang bertanggungjawab atas segala kemaksiatan dan kelalaian. Oleh karena itu, daripada berfokus pada hal-hal yang di luar jangkauan, lebih baik fokus mengoptimalkan ikhtiar agar pertolongan segera Allah turunkan. Together we can overcome ^^
Post a Comment
Post a Comment