Jauh sebelum 1 Syawal dideklarasikan, pemerintah sudah menggaungkan larangan mudik dan menekankan bersilaturahim dengan handai taulan di kampung halaman dengan cara yang lebih digital. Pun banyak tulisan sebelum ini, mendukung dan menyuarakan kembali himbauan pemerintah tentang bagaimana merayakan hari kemenangan yang sepenuhnya berbeda dari biasanya.
Karena sudah menggenapkan tekad untuk tak mudik, menjalin silaturahim lewat komunikasi-komunikasi digital menjadi satu-satunya pilihan. Tapi...
Tak pernah terbesit dalam pemikiran yang dangkal ini, mendigitalkan silaturahim akan begitu menyayat hati. Entah karena semua orang saling menghubungi keluarganya di saat yang hampir bersamaan, atau memang infrastruktur di pedesaan yang belum mampu menyediakan sinyal kuat. Silaturahim digital ini nyaris membuat putus asa. Tak cukup dengan transmisi suara yang delay, tak cukup dengan banyaknya noise yang mengganggu interaksi, seringkali raut wajah yang begitu ingin dilihat dari layar kaca itu pun hilang. Argh!
Tanpa terasa, air mata jatuh membasahi pipi. Tangis miris pecah menyesakkan seisi rumah. Tak pernah terbayangkan, tak pernah sekalipun.. hari kemenangan akan seperti ini. Seketika, daftar rencana 'kegiatan seru berlebaran di rumah' seperti menguap bersama isakan yang menggema.
Yaa Jabbar, Yaa Jabbar, Yaa Jabbar..
Hiburlah hati-hati yang sakit, Yaa Allah.
Alhamdulillah, beribu syukur karena Allah masih menjaga. Kesusahan-kesusahan ini tak lantas menjadi alasan untuk nekat melarikan diri ke kampung halaman atau sekedar melampiaskan kejenuhan di pusat keramaian. Meski sempat goyah bahkan hampir tumbang, kesadaran untuk saling menjaga ummat di tengah pandemi ini masih tersisa di dasar hati.
Tak ingin puluhan jam larut dengan kesesakan di dada, kepingan kekuatan mulai dikumpulkan dan dipulihkan kembali. Rencana kegiatan disusun lagi, kali ini lebih realistis, demi menjaga kesehatan raga dan kewarasan jiwa. Kalimat yang selalu dihujamkan di hati, adalah janji Allah untuk menghadirkan kemudahan setelah kesulitan. Tak ada janji yang lebih terjaga dan lebih benar daripada janji Allah bukan ?
Meski silaturahim digital tak bisa menandingi hangatnya pelukan yang nyata, setidaknya kabar baik keluarga yang sehat di kampung bisa tersampaikan. Emak, amang, bibi, uwa, teteh, aa, insyaa Allah tak putus doa untuk kalian. Insyaa Allah tak lupa dilangitkan doa-doa baik untuk bumi ini ^^
Memang ada saatnya kita harus realistis demi kesehatan keluarga ya mba.. :"
ReplyDeleteMelting .big hug ukhtifillah. You are not alone.
ReplyDeleteSemoga pandemic ini segera berlalu yaah dan bs peluk orang-orang tersayang.
Brebes Miliiii bacanya. Double kill memang saat cuma itu satu²nya cara melepas rindu, ternyata masih diuji dgn sinyal hiks. *Peluk virtual
ReplyDeleteSemoga Allah menjaga kita dalam kesabaran...insyaaAllah
ReplyDeleteKampung halamannya dmna mba? Ku ikut mellow jga jadinya
ReplyDeleteSemoga pandemi segera berlalu, hingga kita bisa mudik tanpa cuti lebaran
ReplyDeleteBerat ya mba.. tapi masih bisa tetap di jalani dengan penuh ketabahan.
ReplyDeleteSemangat untuk kita semua 😊
Semangaat mbaa, sedih sekali memang lebaran tahun ini. Semoga pandemi ini segera diangkat ya, dan kita senantiasa sabar..
ReplyDeletePas kangen terus ngga bisa ketemu akhirnya kembali lagi memeluk dengan do'a ya Mba
ReplyDeleteSemangat mbak puput. *peluk virtual
ReplyDeleteMasya Allah. Terharu bacanya. Sungguh kesabaran orang beriman akan kondisi ini Insya Allah berbuah pahala. Tetap semangat. Peluk virtual 🤗
ReplyDeleteTapi alhamdulillah ya mba Kita Masi bisa silahturahmi virtual.. Hal kebayang kalau ini terjadi pas blm Ada internet 🙈
ReplyDeleteMasyaAlla.. semoga Allah tabahkan ya ❤️
ReplyDeleteMasyaAllah.. Tetap semangat Mba.. Mdh2an kesabarannya ini diganti ALLAH dengan kemudahan lain di kemudian hari.. Aamiin
ReplyDelete